Saturday, January 30, 2010

cerita hujan side story - sayap yang patah

Glea hanyalah satu kupu-kupu kecil di antara ratusan kupu-kupu lainnya. Saat itu ia terjebak di suatu balai pertemuan yang membicarakan mengenai berkurangnya lahan tempat tinggal dan polusi yang merajalela. Ia tidak seharusnya disini, Ibu minta ditemani, tapi sekarang Ibu malah tidak tahu ada dimana. Glea memandangi sekitar, “tidak ada yang aku kenal, teman-temanku mungkin terjebak hujan di luar sana”, pikirnya. Tiba-tiba ada suara yang mengagetkannya, “Hei, kamu tampak kebingungan”. “iya, aku kehilangan mamaku” jawab Glea.

“Ya sudah kamu disini saja sampai ketemu mamamu ya, namaku Ava, kamu pasti Glea.” Ujarnya manis.

“Loh kok kamu tahu namaku Glea?” tanyanya. “Itu dari tanda pengenal di dadanya, setiap peserta disini kan punya” jawab Ava cerdas. Glea hanya bisa tertunduk malu, karena kehilangan Ibu, Ia jadi tidak memperhatikan hal tersebut. Tidak susah bagi Ava untuk bercakap-cakap dengan Glea, Ia jelas seorang kupu-kupu yang jauh lebih dewasa darinya dan cara Ava menyampaikan isi acara tersebut lebih mudah dicerna. Berada di sampingnya, Glea merasa nyaman, bahkan tanpa kehadiran Ibu yang masih tidak tahu ada dimana. Sampai acara usai, Ibu masih belum terlihat, akhirnya Ava berinisiatif untuk mengantarkannya pulang. Sepanjang perjalanan, mereka berbicara mengenai banyak hal. Ava bercerita tentang manusia, hutan dan bunga-bunga yang belum Glea dengar sebelumnya. “Oke, kamu sudah tiba dengan selamat, sampai bertemu besok” kata Ava. Tidak terasa mereka sudah tiba di depan rumahnya, “ah perjalanan tadi begitu singkat” pikir Glea.

Besoknya Ava sudah menunggu di pohon depan rumah Glea. “Loh, aku tidak menyangka akan bertemu secepat ini” Glea tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

“Hey, kamu ga menyimak ya waktu aku bilang ‘sampai bertemu besok’ ?” tanya Ava.

“Oh ya ampun, aku pasti melamun lagi” pikir Glea dan dia hanya bisa tersenyum.

“Ya sudah, kamu ganti baju dulu sana, nanti aku bawa kamu melihat bunga yang aku bilang cantik itu. Ayo bergegas sebelum senja datang” ujar Ava.

Setelah selesai berganti baju, mereka menuju hutan tempat bunga-bunga itu berada. Glea tidak pernah bermain sampai ke dalam hutan ini, kata Ibu banyak makhluk jahat di dalam hutan. Tapi dengan Ava bersamanya, ia merasa aman, sepertinya Ava bisa diandalkan, begitu pikirnya.

“Wah bunga di sini cantik-cantik, apakah sari mereka lebih manis dari bunga lainnya?” tanya Glea

“Tentu Glea, mereka mempunyai sari yang paling manis yang harus kau coba” jawab Ava sabar

Glea terbang mengitari tepian gua dan dia melihat satu bunga putih yang indah sekali, otomatis Glea hinggap di kelopaknya. “Indah bukan? Itu bunga Azalea yang aku ceritakan” ujar Ava. “Boleh aku mencicipinya?” tanya Glea. “Jangan. Di sekitar situ banyak bunga lain, kamu boleh mencicipi bunga yang lain” ucapan Ava yang sedikit membentak membuat Glea kaget tapi ia menuruti juga perkataannya.

Setelah puas mencicipi bunga-bunga di hutan, merekapun pulang. Ava seperti biasa mengantarkan Glea sampai rumah. Hal ini berulang terus keesokan harinya dan berlangsung sampai seminggu. Glea sampai harus berbohong kepada Ibu mengenai PR yang kadang lupa dikerjakan karena ia terlalu asik bermain dan sudah lelah untuk mengerjakannya. Ia juga menolak ajakan teman-temannya untuk pergi ke taman di kota sebelah. “Ah sudah lama sekali aku tidak bermain ke kota sebelah, terakhir kali saat aku meneduh karena hujan” pikirnya. Tapi bermain di hutan, mengenal bunga-bunga baru, dan saat-saat bersama Ava terasa lebih menyenangkan. Meski kekaguman Ava terhadap bunga Azalea tetap terasa janggal dan tidak bisa dipahami oleh Glea.

Setiap sampai di rumah, Glea selalu tidak sabar menanti datangnya esok. Perasaan ingin selalu bertemu dengan Ava sepulang sekolah. Namun, keesokan harinya Ava tidak datang. Begitupun beberapa hari berikutnya. Glea panik, sedih, bingung, “Ava dimana? Apakah dia baik-baik saja?” begitu terus pikirnya.

Setelah 4 hari absen dan tidak ada kabarnya, Ava tahu-tahu muncul di depan rumahnya. Ia tidak menjelaskan apa-apa dan jadi sedikit lebih pendiam. “Ava sakit?” tanya Glea khawatir. “Ngga. Aku gak apa-apa kok. Ayo kita bergegas, langit sepertinya mulai mendung” jawab Ava dengan senyum yang seperti dipaksakan.

Glea hanya bisa mengiyakan, pertemuan yang biasa sangat dinanti menjadi kurang menyenangkan, namun Glea sudah terlanjur terbiasa dengan Ava, meski rasanya mengganjal ia tetap mencoba mengerti.

Sampai hari itu tiba. Ketika Ava berujar bahwa dia tidak bisa menemani Glea lagi, karena ia ingin menjaga Azalea di tepian gua di dalam hutan tersebut. Ava berkata bahwa dia begitu mencintai Azalea. Ia rela melakukan apapun demi Azalea. Saat ia menghilangpun karena ia berkeliling mencari obat untuk Azalea yang saat itu tidak bisa mekar bersemi. Azalea adalah segalanya bagi hidup Ava.

Glea lunglai, hatinya hancur. Air mengalir dari matanya dengan deras. “apa ini, ini bukan hujan? Kenapa air ini terus keluar dari mataku dan tidak bisa aku hentikan? Mengapa dadaku rasanya sakit ya? Perasaan apa ini?” begitu terus pikirnya di dalam hati. Ia pun berusaha kembali ke rumahnya dengan terbang tertatih-tatih meninggalkan Ava yang masih terus larut dalam kebersamaannya dengan Azalea. Melamun, sayap Glea tersangkut di dahan pohon, dan semakin kuat ia menarik, semakin susah untuk dilepaskan. Sayapnya patah. Tidak sanggup untuk kembali terbang, Glea hanya ditemani hujan yang kemudian bercerita kepadaku.

Aku sudah bernyanyi untukmu, tapi kau tidak juga menari.

Aku sudah menangis di hadapanmu, tapi kau tidak juga mengerti.

Haruskah aku bernyanyi sambil menangis?

(Lagu Gelombang - Kahlil Gibran)


PS:

this feeling won't stop til it hurts

and it won't hurts til it's broken

one wing has broken, so does the heart

it's halfway broken.


Cheers,


-lune-



No comments:

Post a Comment