Friday, January 17, 2014

Bapak Tua di Lenteng Agung

Lenteng Agung. Saya ingat daerah ini ketika masih berkuliah di UI Depok. Hampir setiap hari saya melewati jalanan Lenteng Agung yang terkenal sangat macet, dan kemacetannya bisa mengular sampai ke Universitas Pancasila. Penyebabnya sederhana: orang-orang yang turun di stasiun Lenteng Agung menyebrang sembarangan di jalanan, padahal sudah disediakan jembatan penyebrangan di atasnya. 

Nah,  saya sudah lama sekali tidak melewati daerah Lenteng Agung ini sekitar 8 tahun, karena kantor saya yang di Sudirman dan domisili saya tinggal di Ciputat. Akan tetapi sejak mempunyai bayi, saya tinggal di rumah mertua di kawasan Cinere dan agar terhindar dari macetnya ibukota saya memilih menggunakan kereta. Selanjutnya saya bisa turun di stasiun

Bapak Tua berjas hujan
Lenteng Agung dan menyambung kendaraan umum ke Pondok Labu dan Cinere. Hal yang cukup menarik adalah ketika saya mencoba mencari kendaraan umum untuk ke Pondok Labu ternyata harus menyebrangi stasiun terlebih dahulu, karena saya baru, saya mencari-cari melalui apa saya harus menyebrang. Ada jembatan penyebrangan, tapi saya melihat beberapa orang mencoba menyebrang di jalanan dan saya berusaha ikutan. 
Keesokan harinya saya juga mencoba hal yang sama. tapi saya mencari-cari orang untuk menyebrang dan hanya ada 1 perempuan dan dia pun seperti mengurungkan niatnya, ada apa, pikir saya. Kemudian saya mendengar ada seorang bapak tua yang berteriak-teriak di tengah jalan dan seperti marah-marah. Awalnya saya tidak begitu jelas mendengar apa yang ia katakan, dan saya sempat berasumsi "mungkin orang gila". 
Akan tetapi dia terus menunjuk-nunjuk -dengan tongkatnya- ke arah orang-orang yang ingin menyebrang di jalanan. Barulah saya tahu kenapa ia marah-marah, "Hey kalian, nyebrang sana lewat jembatan penyebrangan! ada jembatan malah gak dipake! gak malu apa sama anak-anak cucu kalian nyebrang sembarangan!" sampai akhirnya saya memutuskan untuk menyebrang lewat jembatan saja, begitupun dengan penyebrang lainnya.

Hari esoknya hujan deras, saya penasaran apakah beliau masih ada, ternyata ia tetap di sana dan teriak-teriak dengan semangatnya dan tetap marah-marah pada penyebrang yang sembarangan, lengkap dengan jas hujannya. Padahal usianya sudah tidak muda, lebih tua dari ayah saya, berarti di atas 55 tahun atau umur 60 tahunan. 

Salut saya. Beliau yang sudah sangat tua, semangatnya masih berkobar untuk mendisiplinkan orang-orang, sedangkan kita masih sering melanggar aturan. Di zaman yang lebih banyak istilah kita hidup untuk diri kita, ternyata masih ada saja orang yang hidup untuk orang lain. 

I salute to you Sir!


Cheers,

-lune-

3 comments:

  1. Hebat...masih ada ya org kayak gini di negeri ini.dan yakin masih banyak lagi.salam sama bapa tua LA
    indonesia hebat dan pasti bisa berubah..
    sure.....

    ReplyDelete
  2. Bapak2 ini emang kata sopir angkot yg suka ngetem disana emang katanya agak2 ngalamin gangguan jiwa sih..katanya kl org nyebrang sembarangan kl cowo digebukin pke tongkat tp kl cewe suka dicolek

    ReplyDelete